Kemunculan buaya
Nusakambangan belakangan menyita perhatian publik. Pasalnya, di
kawasan ini tak pernah sekali pun terdeteksi hewan purba selama belasan tahun.
Spekulasi pun
beredar. Sebagian menduga buaya itu bermigrasi ke kawasan ini dari sebuah
tempat. Bisa dari wilayah Kebumen atau Cilacap timur, maupun dari Pangandaran.
Sebabnya,
sebelum muncul buaya
Nusakambangan, di dua tempat ini terdeteksi munculnya buaya, dengan
ukuran yang hampir sama. Buaya Pantai Widarapayung dilaporkan nampak pada Maret
2019, adapun di Pangandaran, pada akhir April, atau sekitar tiga pekan sebelum
penampakan buaya di Nusakambangan.
Informasi yang
beredar, ada tujuh buaya di sekitar perairan Nusakambangan yang terlihat.
Anggota Masyarakat Mitra Polisi Hutan (MMP) Nusakambangan melaporkan ada
penampakan tujuh buaya di sisi barat Pulau Nusakambangan, yakni wilayah Laguna
Segara Anakan atau Kampung Laut.
Tetapi, penampakan tujuh buaya Nusakambangan
itu belum terkonfirmasi kebenarannya. Terlalu spekulatif untuk mempercayai
sebuah informasi hanya dari laporan lisan tanpa didukung data, misalnya foto
atau video.
Meski begitu, tak pelak informasi munculnya
tujuh buaya Nusakambangan ini pun memunculkan dugaan baru. Buaya-buaya itu
dilepas oleh pemiliknya, atau lepas dari penangkaran. Hanya saja, tak ada
penangkaran buaya yang dekat-dekat kawasan ini.
"Kalau yang tujuh buaya belum
terkonfirmasi. Kami fokus kepada buaya yang memang benar-benar sudah ada. Sudah
nampak disertai dengan bukti-bukti," ucap Koordinator Polisi Hutan BKSDA
wilayah Konservasi Resor Cilacap, Endi Suryo Heksianto, Selasa (14/5/2019).
Terlepas dari asal muasal buaya Nusakambangan, menilik ekosistem sekitar
Nusakambangan, sebenarnya kemunculan buaya tidaklah aneh. Terutama, bagi warga
di kawasan Kampung Laut, yang begitu mengenal Laguna Segara Anakan
Kawasan ini memang menjadi habitat buaya. Hutan mangrove atau
bakau dengan ekosistem air payaunya memang menjadi habitat yang sempurna untuk
perkembangbiakan buaya.
Apalagi, pada masa sebelum kerusakan
ekosistem, Laguna Segara Anakan memiliki kawasan sangat luas, kisaran 6.000
hektare lebih. Aktifitas manusia pun tak seramai saat ini. Daratan berlumpur,
air payau dan hutan bakaunya menjadi rumah raja air payau ini.
Makanya, ada sebuah tikungan sungai payau di
Laguna Segara Anakan yang diberi nama, Tikungan Buaya. Berdasar cerita turun
temurun, di sini lah, buaya-buaya itu tinggal.
Nun pada tahun 1999, atau 20 tahun lalu, enam
ekor buaya terdeteksi di kawasan laguna. Satu di antaranya, terjerat jaring
nelayan. Mati.
"Salah satunya masuk jaring, mati.
Terus batire ilang. Lah, saiki nongol maning. (Salah satu buaya masuk ke
jaring, mati. Terus temannya hilang. Lah sekarang kelihatan lagi)," ucap
Kustoro, warga Ujung Alang Kecamatan Kampung Laut, Cilacap.
Kustoro bercerita, ada sebuah kisah konflik
manusia dan buaya yang diceritakan secara turun temurun. Ini adalah kisah
Candra Pangin, tokoh masa lalu yang dipercaya adalah kakek buyut warga Kampung
Laut.
Cerita itu berlatar pada masa awal Laguna
Segara Anakan menjadi tempat tinggal manusia, ketika sampan-sampan kayu dan
rumah panggung baru terbangun di pinggiran laguna