CILACAP- Jalan di Kecamatan Kroya, Adipala hingga Kesugihan,
Cilacap relatif ramai. Kendaran bermotor lalu lalang berganti. Namun,
ratusan penghayat dari berbagai desa seperti Desa Pekuncen, Pesanggrahan
Kecamatan Kroya, dan Desa Jepara Wetan Kecamatan Binangun memilih berjalan kaki
puluhan kilometer.
Lebih dari 300 orang berjalan melintasi jalanan datar serta perbukitan menuju ke Desa Pekuncen. Mereka berjalan antara 30 hingga 50 km. Mereka juga membawa berbagai macam hasil bumi seperti beras dan sayur-sayuran.
Mereka adalah masyarakat Adat Tradisi Anak Putu (ATAP) Bonokeling. Mereka tengah menjalani ritual Punggahan atau serangkaian lelaku bekten (ziarah) keturunan dan pengikut ajaran Penembahan Bonokeling ke pepunden.
Tempat yang dituju ialah di Komplek Cagar Budaya Makam Bonokeling di Pakuncen Kabupaten Banyumas. Ritual Punggahan rencananya dihelat pada Jumat besar terakhir menjelang Ramadan, antara 24 hingga 29 April.
Di beberapa titik, warga Bonokeling beristirahat di tempat yang telah ditentukan, salah satunya adalah Pasar Kesugihan, Cilacap.
Lebih dari 300 orang berjalan melintasi jalanan datar serta perbukitan menuju ke Desa Pekuncen. Mereka berjalan antara 30 hingga 50 km. Mereka juga membawa berbagai macam hasil bumi seperti beras dan sayur-sayuran.
Mereka adalah masyarakat Adat Tradisi Anak Putu (ATAP) Bonokeling. Mereka tengah menjalani ritual Punggahan atau serangkaian lelaku bekten (ziarah) keturunan dan pengikut ajaran Penembahan Bonokeling ke pepunden.
Tempat yang dituju ialah di Komplek Cagar Budaya Makam Bonokeling di Pakuncen Kabupaten Banyumas. Ritual Punggahan rencananya dihelat pada Jumat besar terakhir menjelang Ramadan, antara 24 hingga 29 April.
Di beberapa titik, warga Bonokeling beristirahat di tempat yang telah ditentukan, salah satunya adalah Pasar Kesugihan, Cilacap.
"Ini adalah laku ritual yang harus dijalankan. Sebuah tradisi yang harus dijaga. Jadi berangkat ke Pekuncen sehari dengan berjalan kaki pada Kamis (24/4/2019), kemudian hari kedua yakni pada Jumat (25/4) adalah ritual unggah unggahan," kata Sunardi Kunthang, Ketua ADAT Desa Kalikudi.
Dia mengatakan, peziarah terbagi menurut jenis kelamin, pangkat, kedudukan, dan usia. Mereka baik muda, tua, laki-laki dan perempuan. Mereka membawa bekal yang nantinya bakal dimasak di Panembahan Bonokeling untuk dimakan bersama dengan ribuan peziarah lain yang berdatangan dari berbagai daerah. "Bakul-bakul tersebut dibawa untuk dimasak di sana. Isinya beras, sayur-sayuran dan perlengkapan makan lainnya," ujarnya.
Para penghayat ini menggunakan pakaian adat Jawa. Laki-laki menggunakan kain seperti sarung dan iket kepala. Sedangkan perempuan menggunakan jarit dan bagian atasnya ada yang menggunakan kemben atau baju Jawa. "Ritual ini selalu dilakukan setiap tahunnya . Menjelang bulan Ramadan. Berjalan kaki tandanya kita kembali ke bumi," kata Sunardi.
Setelah sampai di Desa Pekuncen, Jatilawang, kaum adat Bonokeling beristirahat di rumah-rumah Bedogol atau para tetua adat. Kemudian di kompleks makam Kyai Banokeling, mereka melakukan ritual ziarah ke sejumlah makam. Utamanya adalah makam Kyai Bonokeling.
Sebelum masuk ke makam, mereka antre berjalan secara rapi. "Dalam prosesi ziarah, mereka harus melepas alas kaki. Artinya tidak lain adalah bagaimana menyatukan diri dengan alam," ujarnya.
Setelah rampung prosesi ziarah, dia mengatakan, seluruh anggota Komunitas Adat Bonokeling makan bersama di kompleks dalam makam. Dan hari selanjutnya mereka kembali lagi ke rumahnya masing-masing. Tetap jalan dengan jalan kaki. (ray)